Sejak zaman dulu setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan terhadap hal – hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal – hal tertentu akan emenmpatkan hal itu pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal lainnya. Gejala ini yang nantinya menimbulkan adanya lapisan masyarakat. Ukuran dan kriteria yang biasa dipakai masyarakat dalam suatu lapisan adalah dilihat dari ukuran kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan ilmu pengetahuan.
Ketika masyarakat menganggap, pendidikan itu penting bahkan pendidikan dapat dijadikan kuran menempatkan seseorang dalam kedudukannya di masyarakat dimana ukuran tersebut dipakai oleh masyarakat yang sangat mengahargai ilmu pengetahuan. Maka muncul suatu sikap individu untuk memperoleh pendidikan yang setinggi – tingginya.
Sebenarnya visi dan misi yang diusung oleh Pemerintah pada waktu itu cukup bagus karena bertujuan untuk mencetak sumber daya manusia yang berkuaitas, memliki kreativitas tersendiri dan peluang kerja yang bagus. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, dimanayang dikejar hanyalah gelar kesarjanaan dengan mengesampingkan ilmu pengetahuan sehingga banyak sarjana yang kurang kreatif dan menjadi pengangguran.
Contoh kongkrit yang dapat kita lihat dari carut marutnya sistem pendidikan saat ini. Yang awalnya bertujuan mencetak sumber daya manusia yang berkualitas, tapi malah bertolak belakang, seperti yang ada pada saat ini banyak bermunculan lembaga – lembaga perguruan tinggi yang secara teori tujuannya memang sesuai dengan tujuan nasional, tetapi secara prarktek aktivitas pendidikan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Dilihat dari cara atau proses belajar – mengajarnya yang hanya dilakukan dalam waktu singkat dengan pertemuan kuliah yang jarang sekali, seperti satu minggu dua kali pertemuan, bahkan ada yang hanya tiga bulan satu kali pertemuan atau tatap muka dengan dosen, itupun pada saat ujian tengah semester atau ujia akhir saja. Mahasiswa hanya dibekali buku –buku untuk belajar sendiri dirumah. Hal ini mengandung dua sisi positif dan negatif sisi positifnya adalah mahasiswa dituntut untuk belajar secara mandiri diluar kampus dibanding mahasiswa yang intens masuk kuliah, banyak faktor dalam kampus yang aktivitas belajarnya. Sebaliknya dilahat dari sisi negatifnya mahasiswa kurang termotivasi untuk belajar sendiri dirumah,karena kurangnya intensitas tatap muka dengan dosen bersangkutan. Sehingga pada waktu ujian banyak yang lebih memilih jalan pintas dengan cara mencontek atau membuat catatan kecil. Hal inilah yang menyebabkan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan sangat rendah karena aktivitas belajar yang tidak efektif, efesien, dan sinergis.
Memang susah mengubah persepsi masyarakat tentang betapa pentingnya gelar kesarjanaan yang sudah menjadi status simbol dimasyarakat, yang kemudian menyebabkan timbulnya akibat negatif dalam masyarakat untuk mendapatkan gelar sarjana dengan menghalalkan berbagai macam cara. Dalam menyikapi hal ini, kita hanya bisa mengembalikan lagi pada kesadaran masing – masing individu tentanng betapa pentingnya ilmu pengetahuan dalam kehidupan bukan hanya gelar sarjananya saja.
Ketika masyarakat menganggap, pendidikan itu penting bahkan pendidikan dapat dijadikan kuran menempatkan seseorang dalam kedudukannya di masyarakat dimana ukuran tersebut dipakai oleh masyarakat yang sangat mengahargai ilmu pengetahuan. Maka muncul suatu sikap individu untuk memperoleh pendidikan yang setinggi – tingginya.
Sebenarnya visi dan misi yang diusung oleh Pemerintah pada waktu itu cukup bagus karena bertujuan untuk mencetak sumber daya manusia yang berkuaitas, memliki kreativitas tersendiri dan peluang kerja yang bagus. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, dimanayang dikejar hanyalah gelar kesarjanaan dengan mengesampingkan ilmu pengetahuan sehingga banyak sarjana yang kurang kreatif dan menjadi pengangguran.
Contoh kongkrit yang dapat kita lihat dari carut marutnya sistem pendidikan saat ini. Yang awalnya bertujuan mencetak sumber daya manusia yang berkualitas, tapi malah bertolak belakang, seperti yang ada pada saat ini banyak bermunculan lembaga – lembaga perguruan tinggi yang secara teori tujuannya memang sesuai dengan tujuan nasional, tetapi secara prarktek aktivitas pendidikan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Dilihat dari cara atau proses belajar – mengajarnya yang hanya dilakukan dalam waktu singkat dengan pertemuan kuliah yang jarang sekali, seperti satu minggu dua kali pertemuan, bahkan ada yang hanya tiga bulan satu kali pertemuan atau tatap muka dengan dosen, itupun pada saat ujian tengah semester atau ujia akhir saja. Mahasiswa hanya dibekali buku –buku untuk belajar sendiri dirumah. Hal ini mengandung dua sisi positif dan negatif sisi positifnya adalah mahasiswa dituntut untuk belajar secara mandiri diluar kampus dibanding mahasiswa yang intens masuk kuliah, banyak faktor dalam kampus yang aktivitas belajarnya. Sebaliknya dilahat dari sisi negatifnya mahasiswa kurang termotivasi untuk belajar sendiri dirumah,karena kurangnya intensitas tatap muka dengan dosen bersangkutan. Sehingga pada waktu ujian banyak yang lebih memilih jalan pintas dengan cara mencontek atau membuat catatan kecil. Hal inilah yang menyebabkan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan sangat rendah karena aktivitas belajar yang tidak efektif, efesien, dan sinergis.
Memang susah mengubah persepsi masyarakat tentang betapa pentingnya gelar kesarjanaan yang sudah menjadi status simbol dimasyarakat, yang kemudian menyebabkan timbulnya akibat negatif dalam masyarakat untuk mendapatkan gelar sarjana dengan menghalalkan berbagai macam cara. Dalam menyikapi hal ini, kita hanya bisa mengembalikan lagi pada kesadaran masing – masing individu tentanng betapa pentingnya ilmu pengetahuan dalam kehidupan bukan hanya gelar sarjananya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar