Kamis, 04 Desember 2008

Lunturnya Budaya Lokal Dalam Upacara Khitan Muslim Banjar

Khitan adalah praktek keagamaan yang dikenal luas dikalangan umat islam seluruh dunia. Bahkan sebelum Islam datang, khitan telah dipraktekkan lebih dulu dikalangan bangsa semit kuno. Begitu juga di Indonesia, khitan telah lama dipraktekkan sebelum Islam datang. dan setiap daerah memiliki warna serta tradisi tersendiri sesuai dengan budaya lokal daerah tersebut.
Di Kalimantan Selatan, istilah khitan dikenal dengan luas dengan sebutan basunat, yaitu merupakan hal yang penting , bahkan keislaman seseorang belum dianggap sempurna apabila orang tersebut belum basunat. Oleh karena itu orang- orang Banjar sejak masih anak- anak laki- laki berusia kira- kira 6- 12 tahun dan anak perempuan (usianya yang lebih muda dari laki- laki) telah disunat.
Ritual sunat dalam tradisi banjar memiliki makna dan arti yang penting. Karena itulah da;am prakteknya upacara rbasunat ini diiringi dengan ritual budaya lokal masyarakat banjar yang sangat kental dengan agama Islam. Namun seiring dengan perkembangan zaman upacara khitan sebagaimana yang terkait dengan budaya lokal masyarakat muslim banjar mulai jarang ditemukan dewasa ini. Dan ini menjadi pertanyaan bagi kita, apa faktor yang menyebabkan lunturnya tradisi lokal masyarakat banjar dalam melaksanakan upacara khitan.
Khitan berarti suatu operasi terhadap alat kelamin manusia, baik lako-lako maupun perempuan. Namun pada prakteknya khitan laki-laki dan perempuan sangat berbeda. Khitan anak laki- laki yaitu membuang kulit kemaluan (kulup) yang menutupi kepala kemaluan laki-laki. Sedangkan bagi perempuan sunat adalah pemotongan jaringan klitoris.
Dalam tradisi Banjar, sejak zaman dulu praktek khitan diiringi dengan upacara atau ritual yang berhubungan erat dengan unsure religi dan budaya lokal. Pada khitan anak laki-laki misalnya pertama-tama sebelum disunat, si anak terlebih dulu dicukur, kemudian dimandikan. Setelah itu si anak memekai sarung dan perhiasan wanita. Untuk persiapan pelaksanaan upacara, terlebih dahulu disediakan piduduk, yaitu lilin, beras, pisau, gula aren dan kelapa. Setelah semuanya siap, si anak kemudian disunat oleh tukang sunat yang handal dan disaksikan oleh beberapa orang kerabat dekat. Kemudian sebagai tanda bersyukur karena upacara telah selesai, pada malam harinya diadakan acara selamatan mengundang masyarakat sekitar. Selamatan diisi dengan pembacaan syair Maulid Nabi.
Namun seiring perkembangan zaman, budaya lokal muslim banjar mulai luntur dan jarang dilaksanakan untuk mengiringi praktek khitan. Hal ini disebabkan karena ada cara baru yang lebih mudah dalam mengkhitan anak dan tentunya tidak perlu repot- repot harus mengguakan syarat- syarat yang terikat dengan tradisi. Cara baru yang lebih mudah yaitu Orang tua tinggal membawa sang anak ke dokter atau rumah sakit untuk dikhitan. Disana, si anak sudah ditangani oleh dokter atau mantri yang ahli., dan tentunya dengan perlengkapan paramedis yang modern.
Dalam hal ini perubahan upacara ritual khitan masyarakat muslim banjar telah dipengaruhi oleh proses modernisasi, yaitu perkembangan praktek khitan yang menawarkan cara lebih mudah dan praktis. Dengan unsur mudernisasi ini perlahan- lahan unsur religi dan budaya lokal mulai terkikis, seiring dengan perkembangan zaman yang terus bergerak maju.
Pudarnya budaya lokal dalam upacara khitan muslim Banjar ini tidak terlepas dari kurangnya pemahaman masyarakat itu sendiri tentang pentingnya memelihara budaya. Karena kalau tidak kita sendiri sebagai masyarakat banjar siapa lagi yang akan menjaga dan memelihara budaya yang kita miliki. Memang perkembangan zaman akan terus bergerak namun seiring dengan hal itu, kita tetap harus menjaga dan mempertahankan tradisi srta budaya lokal mayarakat banjar. Karena tradisi dan budaya lokal adalah identitas kebanggaan suatu daerah.

Mengejar Gelar Kesarjanaan

Sejak zaman dulu setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan terhadap hal – hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal – hal tertentu akan emenmpatkan hal itu pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal lainnya. Gejala ini yang nantinya menimbulkan adanya lapisan masyarakat. Ukuran dan kriteria yang biasa dipakai masyarakat dalam suatu lapisan adalah dilihat dari ukuran kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan ilmu pengetahuan.
Ketika masyarakat menganggap, pendidikan itu penting bahkan pendidikan dapat dijadikan kuran menempatkan seseorang dalam kedudukannya di masyarakat dimana ukuran tersebut dipakai oleh masyarakat yang sangat mengahargai ilmu pengetahuan. Maka muncul suatu sikap individu untuk memperoleh pendidikan yang setinggi – tingginya.
Sebenarnya visi dan misi yang diusung oleh Pemerintah pada waktu itu cukup bagus karena bertujuan untuk mencetak sumber daya manusia yang berkuaitas, memliki kreativitas tersendiri dan peluang kerja yang bagus. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, dimanayang dikejar hanyalah gelar kesarjanaan dengan mengesampingkan ilmu pengetahuan sehingga banyak sarjana yang kurang kreatif dan menjadi pengangguran.
Contoh kongkrit yang dapat kita lihat dari carut marutnya sistem pendidikan saat ini. Yang awalnya bertujuan mencetak sumber daya manusia yang berkualitas, tapi malah bertolak belakang, seperti yang ada pada saat ini banyak bermunculan lembaga – lembaga perguruan tinggi yang secara teori tujuannya memang sesuai dengan tujuan nasional, tetapi secara prarktek aktivitas pendidikan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Dilihat dari cara atau proses belajar – mengajarnya yang hanya dilakukan dalam waktu singkat dengan pertemuan kuliah yang jarang sekali, seperti satu minggu dua kali pertemuan, bahkan ada yang hanya tiga bulan satu kali pertemuan atau tatap muka dengan dosen, itupun pada saat ujian tengah semester atau ujia akhir saja. Mahasiswa hanya dibekali buku –buku untuk belajar sendiri dirumah. Hal ini mengandung dua sisi positif dan negatif sisi positifnya adalah mahasiswa dituntut untuk belajar secara mandiri diluar kampus dibanding mahasiswa yang intens masuk kuliah, banyak faktor dalam kampus yang aktivitas belajarnya. Sebaliknya dilahat dari sisi negatifnya mahasiswa kurang termotivasi untuk belajar sendiri dirumah,karena kurangnya intensitas tatap muka dengan dosen bersangkutan. Sehingga pada waktu ujian banyak yang lebih memilih jalan pintas dengan cara mencontek atau membuat catatan kecil. Hal inilah yang menyebabkan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan sangat rendah karena aktivitas belajar yang tidak efektif, efesien, dan sinergis.
Memang susah mengubah persepsi masyarakat tentang betapa pentingnya gelar kesarjanaan yang sudah menjadi status simbol dimasyarakat, yang kemudian menyebabkan timbulnya akibat negatif dalam masyarakat untuk mendapatkan gelar sarjana dengan menghalalkan berbagai macam cara. Dalam menyikapi hal ini, kita hanya bisa mengembalikan lagi pada kesadaran masing – masing individu tentanng betapa pentingnya ilmu pengetahuan dalam kehidupan bukan hanya gelar sarjananya saja.